BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi. Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto, 2011). Pada tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).3 Sebagian besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal. Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal. Perkembangan UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan lemahnya daya saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan seperti masalah upah buruh, ketenaga kerjaan dan pungutan liar, korupsi dan lain-lain. Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun 2010. Disisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental ekonomi nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang kondusif dalam upaya penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi penyangga (buffer) perekonomian nasional. Masalah lain yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut 4 menjadi kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut, menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan fokus, sehingga perkembangannya mengalami stagnasi. Kemampuan UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan lebih lanjut agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil tersendiri. Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan (KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro melalui capacity building, dan pengembangan information technology (IT). Demikian juga upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam negeri serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro. Keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga multilateral dan bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama. Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba mengembangkan keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro (Prabowo dan Wardoyo, 2003). 1.2 Perumusan Masalah Pasar bebas ASEAN yang akan efektif diberlakukan pada tahun 2015 merupakan titik rawan perjuangan UMKM dan ekonomi kerakyatan. Berbagai kemudahan perdagangan antar negara seperti pembebasan bea impor dan kemudahan birokrasi akan mendorong meningkatnya impor komoditas ke negara-negara ASEAN. Iklim perdagangan tidak hanya akan didominasi oleh negara-negara ASEAN saja, akan tetapi juga perlu dipertimbangkan kehadiran China dengan produk-produknya yang memiliki daya saing tinggi dilihat dari harga dan kandungan teknologi. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan sumber daya manusia khususnya untuk menghadapi pasar bebas ACFTA. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Capacity Building Secara umum capacity building adalah proses atau kegiatan memperbaiki kemampuan seseorang, kelompok, organisasi atau sistem untuk mencapai tujuan atau kinerja yang lebih baik (Brown et. al, 2001). Capacity building adalah pembangunan keterampilan (skills) dan kemampuan (capabilities), seperti kepemimpinan, manajemen, keuangan dan pencarian dana, program dan evaluasi, supaya pembangunan organisasi efektif dan berkelanjutan. Ini adalah proses membantu individu atau kelompok untuk mengidentifikasi dan menemukan permasalahan dan menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan melakukan perubahan. (Campobaso dan Davis, 2001) Capacity building difasilitasi melalui penetapan kegiatan bantuan teknik, meliputi pendidikan dan pelatihan, bantuan teknik khusus (specific technical assitance) dan penguatan jaringan. Prinsip yang perlu diterapkan adalah membangun keberdayaan ekonomi rakyat melalui pengembangan kapasitas (capacity building), mencakup : 1) kelembagaan; 2)pendanaan, 3) pelayanan. Di samping itu masalah internal yang harus dihadapi adalah masalah efisiensi, keterbatasan SDM dan teknologi (Krisnamurthi, 2002). 2.2 Pasar Bebas Asean dan ACFTA (Asean China Free Trade Area) Pasar bebas Asean akan diberlakukan pada tahun 2015. Hal ini menjadikan pemerintah Indonesia terus meningkatkan berbagai strategi untuk menghadapinya. Demikian juga, sejak disepakatinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 mengharuskan pemerintah Indonesia. Pertama, apakah pemerintah Indonesia untuk melakukan sosialisasi terhadap publik mengenai kesepakatan ACFTA. Disamping itu pemerintah Indonesia diharapkan memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Terkait dengan persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA. Sosialisasi penting untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia sebelum ACFTA diberlakukan. Dalam surveinya, LSI mengajukan beberapa pertanyaan terhadap publik menyangkut ACFTA. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa hanya sebagian kecil saja publik Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar kesepakatan/perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010, terdapat 26,711 persen publik yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Dari mereka yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China, mayoritas publik (51,9 persen) mengatakan tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas. Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik cenderung mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai adanya perdagangan bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan ini jelas dapat merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas dan bukan Indonesia. Hal penting berikutnya terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia menghadapi ACFTA. Dalam hal ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempersiapkan dirinya secara matang. Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China(ACFTA). Meskipun pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk melakukan renegosiasi untuk 228 pos tarif produk yang berpotensi injuries agar pengenaan bebas bea masuk dapat ditunda pelaksanaanya, namun hal itu tidak berjalan dan Indonesia terpaksa harus terus berjalan dengan mekanisme ACFTA. Akibatnya adalah enam produk terkena dampak langsung (injuries) karena ACFTA, yaitu industri tekstil dan produk tekstil/TPT, makanan dan minuman, elektronik, alas kaki, kosmetik, serta industri jamu. 2.3 Peningkatan Daya Saing Produk Indonesia Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional. Oleh karena daya saing industri merupakan fenomena di tingkat mikro perusahaan, maka kebijakan pembangunan industri nasional didahului dengan mengkaji sektor industri secara utuh sebagai dasar pengukurannya. Sedangkan menurut Tambunan, 2001, tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif(competitive advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap ebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua faktor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper Competitive. Analisis Persaingan yang super ketat (Hyper Competitive Analysis) menurut D’Aveni dalam (Hamdy, 2001), merupakan analisis yang menunjukkan bahwa pada akhirnya setiap negara akan dipaksa memikirkan atau menemukan suatu strategi yang tepat, agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada kondisi persaingan global yang sangat sulit. Menurut Hamdy Hadi, strategi yang tepat adalah strategi SCA (Sustained Competitive Advantage Strategy) atau strategi yang berintikan upaya perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang mengkaitkan 5 lingkungan eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan sustainable real income secara efektif dan efisien. Menurut The Global Competitiveness Report, tahun 2011 peringkat daya saing Indonesia mengalami penurunan menjadi 46 dibanding tahun 2010 yang berada di posisi Hal ini menuntut perlunya dilakukan kaji ulang terhadap kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Kementerian dan lembaga yang membidangi setiap pilar dan indikator yang mengalami penurunan peringkat perlu bekerja lebih dari biasa untuk menaikkan peringkat pada masing-masing indikator dan pilar daya saing tersebut. Selain itu, berbagai faktor umum yang menghambat peningkatan daya 2.4 Agency Theory Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997); (Loudon and Loudon, 2007). Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi. Teori Keagenan dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut : BAB III PEMBAHASAN 3.1 Posisi UMKM Dalam Pasar Bebas Asean Dalam rangka menuju Pasar Bebas Asean 2015, masih banyak peluang UMKM untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna memanfaatkan peluang tersebut, maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di Indonesia menghadapi Pasar Bebas Asean adalah bagaimana mampu menentukan strategi yang tepat guna memenangkan persaingan. Saat ini, struktur ekspor produk UMKM Indonesia banyak berasal dari industri pengolahan seperti furniture, makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan, hasil pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor pertambangan masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batubatuan, tanah liat dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain alat-alat rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang kayu/tempurung, makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan bahan baku produksi UMKM yang digunakan adalah bahan baku lokal sisanya dari impor seperti plastik, kulit dan beberapa zat kimia. Beberapa kendala UMKM yang banyak dialami negara-negara berkembang termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan baku yang mesti harus diimpor dari negara lain untuk proses produksi. Disamping itu pemasaran barang, permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan informasi juga merupakan permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk masalah-masalah non fisik seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan lain sebagainya. Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan kendala-kendala yang sering dialami negara Asean termasuk Indonesa. 3.2 Pentingnya Pemberdayaan UMKM Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta orang (menurut sensus 2010), ternyata hanya 0,24 persen adalah para wirausaha (interpreneur), atau hanya sekitar 400.000 orang yang berkecimpung dalam dunia usaha atau UMKM. Padahal agar perekonomian Indonesia dapat berkembang lebih cepat diperlukan lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk sebagai wirausaha atau berkecimpung dalam UMKM. Singapura, sebuah negara kecil namun mempunyai 7 persen dari jumlah penduduknya merupakan wirausaha dan mempunyai banyak UMKM. Sedangkan Malaysia, lebih dari 2 persen jumlah penduduknya merupakan para interpreneur yang berkecimpung dalam berbagai usaha mikro. Kebijakan Pendapatif BeaAnti Dumping , BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Strategi untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit. Saat ini skim kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dengan kategori usaha layak, tanpa agunan. Selain itu penguatan lembaga pendamping UMKM dapat dilakukan melalui kemudahan akses serta peningkatan capacity building dalam bentuk pelatihan dan kegiatan penelitian yang menunjang pemberian kredit kepada UMKM. Strategi untuk mengantisipasi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif khususnya di kawasan Asean adalah penguasaan pasar, yang merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar dapat menguasai pasar, maka UMKM perlu mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat, baik informasi mengenai pasar produksi maupun pasar faktor produksi untuk memperluas jaringan pemasaran produk yang dihasilkan oleh UMKM. Aplikasi teknologi informasi pada usaha mikro, kecil dan menengah akan mempermudah UMKM dalam memperluas pasar baik di dalam negeri maupun pasar luar negeri dengan efisien. Pembentukan Pusat Pengembangan UMKM berbasis IT dianggap mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di era teknologi informasi saat ini. 4.2 Saran Untuk meningkatkan daya saing diperlukan sinergi antara peran pemerntah selaku pembuat kebijakan serta lembaga pendamping, khususnya lembaga keuangan mikro untuk mempermudah akses perkreditan dan perluasan jaringan informasi pemasaran. Selain itu, budaya mencintai produksi dalam negeri juga perlu dipupuk agar UMKM berkembang dan perekonomian nasional menjadi lebih kuat. Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah perlu aktif untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk terus melakukan pembinaan dan pelatihan melalui peningkatan capacity building dan penerapan aplikasi information technology (IT), termasuk mengefektifkan kembali web Pemda-Pemda saat ini yang tidak optimal sebagai basis komunikasi UMKM di daerah.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia. 2011. Five Finger Philosophy:Upaya Memberdayakan UMKM, (online),(http://www.bi.go.id/web/id/UMKMBI/Koordinasi/Filosofi+Lima+Jari/,dia kses 3 oktober 2011) BPS. 2011. Produk Domestik Bruto. (online), (http://www.bps.go.id/index.php?news=730, diakses 12 oktober 2011 Djunaedi, Achmad. 2000. Pedoman Penulisan Tinjauan Pustaka. Yogyakarta : Pascasarjana UGM